Apa Benar Rupiah Melemah Akibat Geopolitik? tahuberita.com – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa pekan terakhir mengalami tekanan yang cukup signifikan. Banyak pihak menilai bahwa salah satu penyebab utama dari pelemahan rupiah adalah ketegangan geopolitik global, terutama konflik antara Iran dan Israel, serta ketegangan dagang dan militer di kawasan Asia-Pasifik.
Namun, benarkah pelemahan rupiah sepenuhnya disebabkan oleh faktor geopolitik? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu ditelaah secara menyeluruh berbagai faktor yang memengaruhi pergerakan mata uang Indonesia.
Fakta Rupiah Melemah hingga Menyentuh Rp15.700 per USD
Per 5 Juni 2025, rupiah diperdagangkan di kisaran Rp15.650–Rp15.700 per dolar AS, melemah sekitar 3% dibanding bulan sebelumnya. Pelemahan ini memicu kekhawatiran pelaku usaha, terutama importir dan industri yang bergantung pada bahan baku luar negeri.
Situasi ini mendorong perdebatan publik dan media mengenai apakah geopolitik menjadi penyebab utama, atau sekadar pemicu tambahan di tengah kondisi fundamental ekonomi yang belum sepenuhnya solid.
Gejolak geopolitik global, seperti:
- Serangan rudal antara Iran dan Israel
- Ketegangan di Laut China Selatan
- Perang Rusia Ukraina yang belum mereda
telah menciptakan ketidakpastian pasar dan mendorong pelaku keuangan untuk mencari aset aman (safe haven) seperti dolar AS, emas, dan obligasi pemerintah AS.
Ketika permintaan terhadap dolar meningkat, maka otomatis mata uang negara berkembang termasuk rupiah cenderung melemah. Ini merupakan respons alami pasar terhadap risiko global.
“Faktor geopolitik memang menjadi pemicu utama short-term volatility rupiah, tapi bukan satu-satunya penyebab,” ujar analis makroekonomi dari Lembaga Riset Ekonomi Indonesia (LREI).
Selain faktor eksternal, ada sejumlah faktor internal yang juga turut memperlemah nilai tukar rupiah, seperti:
- Defisit neraca perdagangan akibat peningkatan impor energi dan barang modal.
- Pembengkakan subsidi energi seiring melonjaknya harga minyak mentah global.
- Kekhawatiran terhadap defisit fiskal jika harga BBM tidak disesuaikan.
- Tingkat inflasi yang meningkat pada kuartal II 2025.
- Minimnya aliran dana asing (capital inflow) karena investor wait and see.
Semua faktor tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekonomi domestik juga rentan, dan bukan sepenuhnya disebabkan oleh konflik luar negeri.
Bank Indonesia (BI) telah menegaskan bahwa mereka melakukan intervensi aktif di pasar valas untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Gubernur BI juga menyatakan bahwa tekanan terhadap rupiah saat ini masih tergolong moderat dan bisa dikendalikan.
“Kami menyadari pengaruh geopolitik. Tapi kami juga memantau neraca pembayaran, inflasi, dan aliran modal. Semua faktor itu saling berkaitan,” ungkap Gubernur BI dalam konferensi pers bulanan.
BI juga belum menaikkan suku bunga karena fokus pada stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi, meski membuka ruang untuk pengetatan moneter jika tekanan terhadap rupiah terus meningkat.
Apakah Rupiah Akan Terus Melemah?
Banyak ekonomi memprediksi bahwa tekanan terhadap rupiah bersifat sementara, dan bisa kembali menguat jika:
- Ketegangan geopolitik mereda
- Harga minyak kembali stabil
- Investor kembali masuk ke pasar keuangan domestik
- Neraca perdagangan Indonesia menunjukkan surplus
Namun jika konflik global semakin meluas, terutama jika berdampak ke jalur distribusi energi dunia, maka pelemahan rupiah bisa berlangsung lebih lama dan mendalam.
Dari berbagai indikator dan analisis, dapat disimpulkan bahwa geopolitik memang berdampak terhadap nilai tukar rupiah, namun bukan satu-satunya penyebab. Gejolak di Timur Tengah dan kawasan lain hanya menjadi pemicu eksternal, sementara fundamental ekonomi domestik tetap menjadi penentu utama arah pergerakan rupiah dalam jangka menengah hingga panjang.
Oleh karena itu, penguatan sektor riil, stabilitas fiskal, dan konsistensi kebijakan moneter akan sangat berperan dalam menjaga ketahanan rupiah, terlepas dari situasi global.