Ditemukan Tambang Nikel di Raja Ampat, Pemerintah Diminta Prioritaskan Kelestarian Alam, tahuberita.com – Penemuan cadangan nikel baru di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, tengah menjadi sorotan nasional. Kawasan yang dikenal sebagai salah satu surga biodiversitas laut dunia ini kini menghadapi tantangan baru setelah hasil survei geologi menunjukkan adanya potensi tambang nikel dalam jumlah signifikan.
Informasi ini pertama kali dikonfirmasi oleh Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang menyebut bahwa survei mineral logam pada awal 2025 menemukan endapan nikel laterit di beberapa titik daratan Raja Ampat bagian selatan. Temuan tersebut langsung menarik perhatian berbagai pihak, mulai dari investor, pemerintah daerah, hingga aktivis lingkungan.
Kronologi Penemuan Tambang Nikel di Raja Ampat
Survei yang dilakukan selama kuartal pertama tahun 2025 melibatkan penggunaan citra satelit, pemetaan geokimia, dan pengeboran sampel tanah di kawasan pegunungan karst Raja Ampat. Hasil awal menunjukkan bahwa kandungan nikel di beberapa area tergolong tinggi dan memenuhi standar kelayakan eksplorasi industri.
Menurut Kepala Badan Geologi ESDM, Dr. Raden Yanuar, kawasan yang dimaksud belum masuk dalam daftar Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) sebelumnya. Namun, temuan ini bisa membuka peluang baru untuk investasi jika dikelola dengan prinsip berkelanjutan.
“Penemuan ini bukan berarti langsung masuk tahap eksploitasi. Harus ada studi kelayakan, analisis dampak lingkungan, dan persetujuan dari pemerintah daerah serta masyarakat adat setempat,” jelas Yanuar dalam konferensi pers di Jakarta (3 Juni 2025).
Cadangan nikel di Indonesia selama ini banyak ditemukan di Sulawesi dan Maluku. Penambahan potensi cadangan di Papua Barat Daya tentu akan memperluas peta kekayaan mineral nasional. Apalagi, permintaan global terhadap nikel terus meningkat karena bahan ini menjadi komponen utama baterai kendaraan listrik (EV).
Namun, investasi di sektor ini tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa, terlebih di kawasan sensitif seperti Raja Ampat. Penambangan yang tidak diawasi ketat dikhawatirkan akan merusak lingkungan hidup, merusak ekosistem laut, serta mengganggu masyarakat adat yang telah menjaga kelestarian alam selama ratusan tahun.
Direktur Eksekutif Indonesian Mining Watch, Irwan Tarigan, menegaskan bahwa eksploitasi nikel di Raja Ampat berisiko tinggi terhadap kawasan hutan primer dan daerah tangkapan air yang langsung mengalir ke terumbu karang.
“Jika sedimentasi meningkat akibat aktivitas tambang, maka terumbu karang yang menjadi rumah bagi ribuan spesies laut bisa rusak permanen. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal pariwisata dan pangan masyarakat lokal,” ujar Irwan.
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat menyambut temuan ini dengan hati-hati. Bupati Raja Ampat, Abdul Faris Umlati, menyatakan bahwa pihaknya belum menerima pengajuan izin pertambangan apa pun terkait cadangan nikel tersebut.
“Kami akan memastikan bahwa setiap proses dilakukan sesuai regulasi dan mengedepankan prinsip keberlanjutan. Kami juga akan melibatkan tokoh adat dan masyarakat lokal sebelum mengambil keputusan apa pun,” tegasnya.
Sementara itu, perwakilan masyarakat adat dari Kampung Saonek dan Meos Mansar menyuarakan penolakan terhadap kemungkinan dibukanya tambang nikel di wilayah mereka. Mereka khawatir tambang akan merusak mata pencaharian mereka sebagai nelayan dan petani sagu.
Penemuan tambang nikel di Raja Ampat menimbulkan dilema klasik antara kepentingan ekonomi nasional dan kelestarian lingkungan hidup. Di satu sisi, nikel adalah komoditas strategis dalam transisi energi global. Namun di sisi lain, Raja Ampat adalah kawasan konservasi laut yang sudah dikenal dunia sebagai salah satu hot spot keanekaragaman hayati.
Indonesia saat ini merupakan produsen nikel terbesar di dunia, dan keberadaan cadangan baru di Raja Ampat bisa memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global baterai lithium-ion. Namun tanpa tata kelola yang baik, penambangan bisa berujung pada kerusakan ekosistem yang tidak tergantikan.
Pakar lingkungan dari Universitas Papua, Dr. Melani Duwit, menyarankan agar kawasan yang ditemukan memiliki kandungan nikel tinggi ditetapkan sebagai “zona eksplorasi terbatas” terlebih dahulu.
“Jangan buru-buru masuk ke tahap eksploitasi. Harus ada kajian komprehensif, termasuk pemetaan sosial budaya dan nilai ekologis yang bisa terdampak,” jelasnya.
Pemerintah pusat dan daerah kini berada di persimpangan penting. Jika ingin melanjutkan potensi ini menjadi proyek strategis, maka regulasi ketat dan transparansi mutlak dibutuhkan. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) harus dijadikan dokumen wajib sebelum adanya eksplorasi lanjutan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengingatkan bahwa sebagian besar wilayah darat dan pesisir Raja Ampat telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan taman nasional. Karena itu, perizinan pertambangan akan menghadapi berbagai batasan hukum dan tata ruang.
Penemuan tambang nikel di Raja Ampat membuka babak baru dalam wacana eksplorasi sumber daya alam Indonesia. Di tengah dorongan transisi energi dan peluang ekonomi, pemerintah dituntut untuk tidak mengorbankan kekayaan ekologis yang telah menjadi identitas dan kebanggaan bangsa.
Jika tidak dikelola dengan cermat, penemuan ini bisa berubah menjadi malapetaka ekologis. Namun jika dirancang dengan prinsip kehati-hatian dan partisipasi publik, Raja Ampat bisa menjadi contoh bagaimana kekayaan alam dapat dimanfaatkan tanpa merusak lingkungan dan budaya lokal.