
Zulkifli Hasan Disorot 1,64 Juta Hektare Hutan Diizinkan Dibabat untuk Perkebunan Sawit, tahuberita.com – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) periode sebelumnya, Zulkifli Hasan, kembali menjadi sorotan publik setelah muncul laporan mengenai izin pembukaan hutan seluas 1,64 juta hektare untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit. Temuan ini menimbulkan perdebatan luas, mulai dari aktivis lingkungan, akademisi, hingga sejumlah organisasi masyarakat sipil yang menilai kebijakan tersebut berpotensi mempercepat kerusakan ekosistem hutan Indonesia.
Kebijakan yang dikaitkan dengan Zulkifli Hasan itu disebut menjadi salah satu faktor pendorong ekspansi perkebunan sawit berskala besar, terutama di kawasan Sumatra dan Kalimantan. Meski ekspansi sawit sering kali dianggap sebagai strategi untuk meningkatkan produksi industri nasional dan penyerapan tenaga kerja, kritik terhadap dampak ekologisnya tidak pernah surut.
Latar Belakang Izin 1,64 Juta Hektare Hutan
Isu ini mencuat setelah sejumlah laporan dan hasil investigasi lembaga pemantau lingkungan menyebutkan bahwa pada masa jabatan Zulkifli Hasan sebagai Menteri Kehutanan, pemerintah memberikan izin pemanfaatan kawasan hutan untuk sawit dengan total luasan mencapai 1,64 juta hektare. Data ini berasal dari berbagai analisis dokumen perizinan, termasuk pelepasan kawasan hutan yang dilakukan untuk mendukung investasi perusahaan sawit.
Dalam konteks kebijakan, proses pelepasan lahan hutan untuk perkebunan sawit umumnya melibatkan beberapa tahapan administratif mulai dari penyesuaian tata ruang, persetujuan teknis, hingga penerbitan izin dari kementerian terkait. Namun, para pengkritik menilai bahwa skala pelepasan hutan tersebut terlalu masif dan tidak sebanding dengan upaya konservasi yang seharusnya berjalan seiring.
Beberapa organisasi lingkungan bahkan menyebut izin-izin tersebut sebagai bagian dari “perluasan sawit paling agresif” yang pernah terjadi dalam satu dekade terakhir.
Dampak Lingkungan Dari Deforestasi hingga Konflik Lahan
Ekspansi sawit berskala besar secara langsung berdampak pada deforestasi. Dengan hilangnya 1,64 juta hektare kawasan hutan, sejumlah pakar memperingatkan risiko jangka panjang yang mengancam keseimbangan ekologi Indonesia.
1. Hilangnya habitat satwa endemik
Wilayah hutan yang dilepaskan banyak berada di kawasan yang menjadi habitat spesies langka seperti orangutan, harimau Sumatra, hingga berbagai jenis burung yang statusnya terancam punah. Pembukaan lahan sawit secara masif dapat mempersempit ruang hidup fauna tersebut.
2. Peningkatan emisi karbon
Deforestasi dikenal sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar dalam sektor penggunaan lahan. Jika konversi dilakukan dengan metode tebang bakar, dampaknya terhadap krisis iklim akan berlipat ganda.
3. Ancaman banjir dan longsor
Hilangnya tutupan hutan di daerah-daerah rawan memperparah risiko banjir bandang, sedimentasi sungai, dan tanah longsor. Beberapa wilayah yang mengalami deforestasi ekstrem bahkan kini menjadi daerah rentan bencana.
4. Potensi konflik lahan dengan masyarakat adat
Banyak area yang dilepas untuk sawit tumpang tindih dengan wilayah adat. Masyarakat adat dan lokal sering kali tidak dilibatkan secara penuh dalam proses konsultasi, sehingga memperbesar potensi konflik sosial.
Respons Publik dan Suara Aktivis Lingkungan
Lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan mengkritik kebijakan ini sebagai bentuk “pengabaian terhadap komitmen iklim nasional”. Mereka menegaskan bahwa pelepasan lahan hutan untuk sawit dalam jumlah masif bertolak belakang dengan target pengurangan emisi yang telah dituangkan dalam NDC (Nationally Determined Contribution).
Sejumlah aktivis bahkan mendorong dilakukannya audit perizinan sawit di era pemerintahan sebelumnya. Menurut mereka, audit tersebut diperlukan untuk memastikan bahwa setiap izin telah melalui prosedur hukum yang tepat serta tidak melanggar aturan tata ruang.
Beberapa pakar kebijakan publik juga menilai kebijakan pelepasan hutan secara masif tidak lagi relevan dengan tuntutan global yang mengarah pada ekonomi hijau. Mereka menekankan bahwa pembangunan ekonomi harus beriringan dengan keberlanjutan lingkungan jika Indonesia ingin tetap kompetitif di pasar internasional.
Pandangan Pihak yang Membela Kebijakan
Meski mendapat banyak kritik, ada pula pihak yang berpendapat bahwa pelepasan lahan untuk sawit merupakan langkah strategis dalam mendorong pertumbuhan industri nasional. Industri sawit dikenal sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia dan menjadi mata pencaharian jutaan pekerja.
Pendukung kebijakan menyebut bahwa banyak izin yang diterbitkan dalam kerangka legal sesuai ketentuan yang berlaku. Mereka juga menilai bahwa perluasan sawit dapat mendorong pembangunan ekonomi di daerah terpencil, membuka akses infrastruktur, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, argumentasi ini tetap dipandang belum menjawab persoalan utama terkait keberlanjutan ekologi jangka panjang.
Kontroversi pembukaan hutan 1,64 juta hektare menjadi momentum bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mengevaluasi ulang sistem perizinan sektor kehutanan dan perkebunan. Banyak pengamat menilai bahwa Indonesia membutuhkan paradigma baru dalam tata kelola lahan yang bukan hanya berorientasi pada investasi jangka pendek, tetapi juga menjaga keberlanjutan ekosistem untuk generasi mendatang.
Isu izin pembukaan 1,64 juta hektare hutan untuk sawit yang dikaitkan dengan Zulkifli Hasan menunjukkan betapa kompleksnya persoalan tata kelola hutan di Indonesia. Di tengah tuntutan global untuk menjaga lingkungan dan krisis iklim yang semakin nyata, kebijakan seperti ini perlu dipandang secara kritis dan menyeluruh. Polemik yang muncul bukan hanya soal angka luasannya, tetapi juga tentang arah masa depan pengelolaan hutan Indonesia: apakah akan terus tergerus oleh kepentingan industri atau justru menjadi tonggak baru menuju keberlanjutan.